Dalam sejarah olahraga tenis, perdebatan mengenai siapa pemain terhebat sepanjang masa atau Greatest of All Time (GOAT) di sektor putri selalu memancing diskusi panas. Biasanya, argumen tersebut akan bermuara pada dua nama legendaris: Steffi Graf dari Jerman dan Serena Williams dari Amerika Serikat. Keduanya bukan hanya sekadar atlet; mereka adalah ikon yang mendominasi era masing-masing dengan gaya yang sangat berbeda. Namun, jika kita harus memilih satu pemenang di antara mereka, siapa yang sebenarnya lebih layak menyandang gelar “Ratu Tenis”?
Nah, untuk menjawab pertanyaan sulit tersebut, kita tidak bisa hanya melihat jumlah piala di lemari mereka. Kita perlu menyelami statistik, konteks zaman, dan dominasi permainan mereka di lapangan. Mari kita bedah kekuatan kedua legenda ini satu per satu.
Steffi Graf: Efisiensi dan “Golden Slam” yang Abadi
Pertama-tama, mari kita menengok kembali ke era akhir 80-an dan 90-an, masa di mana Steffi Graf menjadi mimpi buruk bagi setiap lawannya. Graf memiliki gaya permainan yang sangat presisi, disiplin, dan mengandalkan kecepatan kaki yang luar biasa.
Senjata utamanya yang paling mematikan adalah pukulan forehand-nya. Saking kuat dan akuratnya, media menjulukinya “Fraulein Forehand”. Dengan senjata itu, ia bisa mendikte permainan dari sudut mana pun. Akan tetapi, pencapaian terbesar Graf yang belum bisa disamai oleh siapa pun—termasuk Serena—terjadi pada tahun 1988.
Pada tahun ajaib tersebut, Graf menyapu bersih keempat gelar Grand Slam (Australian Open, French Open, Wimbledon, US Open) dan medali emas Olimpiade Seoul dalam satu tahun kalender yang sama. Prestasi langka ini kemudian dikenal sebagai “Golden Slam”. Hingga hari ini, belum ada petenis pria maupun wanita lain yang mampu mengulangi kesempurnaan tersebut. Oleh karena itu, bagi para pendukung Graf, argumen tentang siapa yang terbaik sering kali berakhir di fakta sejarah yang satu ini.
Selain itu, Graf juga memegang rekor sebagai satu-satunya petenis yang memenangkan setiap turnamen Grand Slam setidaknya empat kali. Hal ini membuktikan bahwa ia adalah pemain yang sangat serbabisa (versatile). Ia bisa menang di lapangan rumput yang cepat, tanah liat yang lambat, maupun lapangan keras dengan sama baiknya. Konsistensi Graf juga terlihat dari rekornya menduduki peringkat 1 dunia selama 377 minggu, sebuah angka yang masih menjadi rekor tertinggi di dunia tenis putri hingga saat ini.
Serena Williams: Kekuatan Murni dan Umur Panjang
Selanjutnya, kita beralih ke era milenium baru, panggung milik Serena Williams. Jika Graf adalah simbol efisiensi dan presisi, maka Serena adalah definisi dari kekuatan (power) dan dominasi fisik. Sejak kemunculannya, Serena mengubah standar permainan tenis putri menjadi lebih atletis dan agresif.
Keunggulan utama Serena terletak pada servisnya. Banyak pengamat sepakat bahwa Serena memiliki servis terbaik dalam sejarah tenis wanita. Servisnya keras, akurat, dan sering kali menyelamatkannya di momen-momen kritis break point.
Kemudian, jika kita bicara soal angka Grand Slam di Era Terbuka (Open Era), Serena adalah pemenangnya. Ia mengoleksi 23 gelar Grand Slam tunggal, melampaui rekor Graf yang berhenti di angka 22. Lebih hebatnya lagi, Serena meraih gelar-gelar tersebut dalam rentang waktu yang sangat panjang. Ia memenangkan Grand Slam pertamanya pada tahun 1999 dan yang terakhir pada tahun 2017 saat sedang mengandung putrinya, Olympia.
Ketahanan fisik dan mental atlet yang satu ini memang di luar nalar. Serena harus menghadapi berbagai generasi lawan, mulai dari Martina Hingis, Jennifer Capriati, Justine Henin, kakaknya sendiri Venus Williams, hingga generasi muda seperti Naomi Osaka. Kemampuannya untuk terus beradaptasi dan tetap relevan selama lebih dari dua dekade menunjukkan mental juara yang tiada tanding.
Perbandingan Era: Siapa Lawan Siapa?
Lalu, bagaimana kita membandingkan keduanya secara adil? Tentu saja, membandingkan atlet dari generasi berbeda memiliki tantangan tersendiri karena teknologi raket dan ilmu olahraga sudah jauh berkembang.
Pendukung Graf sering berargumen bahwa Graf menghadapi persaingan yang lebih ketat, terutama dari Martina Navratilova dan Monica Seles. Bahkan, banyak yang berspekulasi bahwa jika insiden penusukan Monica Seles tidak terjadi pada tahun 1993, koleksi gelar Graf mungkin tidak akan sebanyak itu. Namun, sejarah tetaplah sejarah. Graf berhasil memanfaatkan setiap peluang yang ada dengan sempurna.
Di sisi lain, pendukung Serena menekankan bahwa kedalaman kompetisi di era modern jauh lebih berat. Di era Serena, hampir semua petenis di peringkat 100 besar memiliki fisik yang prima dan pukulan keras. Tidak ada pertandingan babak awal yang mudah bagi Serena. Selain itu, Serena sering kali harus berjuang melawan cedera serius dan masalah kesehatan, namun ia selalu berhasil bangkit kembali ke puncak.
Kesimpulan
Pada akhirnya, memilih antara Steffi Graf dan Serena Williams sangat bergantung pada kriteria apa yang paling kamu hargai.
Jika kamu mendewakan konsistensi mutlak, fleksibilitas di segala jenis lapangan, dan pencapaian sempurna dalam satu tahun kalender (Golden Slam), maka Steffi Graf adalah ratu sejatimu. Statistik mingguan peringkat 1 dunia miliknya adalah bukti dominasi yang stabil.
Sebaliknya, jika kamu lebih menghargai umur panjang karier (longevity), kemampuan bangkit dari keterpurukan, dominasi head-to-head yang intimidatif, serta jumlah total trofi Grand Slam terbanyak di Era Terbuka, maka Serena Williams layak memegang mahkota tersebut. Sosok yang satu ini telah membuktikan bahwa usia hanyalah angka.
Keduanya adalah legenda yang telah membawa olahraga tenis ke level yang lebih tinggi. Mungkin jawaban paling bijak adalah mengakui bahwa mereka berdua adalah Ratu di eranya masing-masing, dan kita sebagai penggemar sangat beruntung bisa menyaksikan (atau memutar ulang rekaman) kehebatan mereka.