Table of Content
Meskipun pertarungan ikonik mereka di UFC 229 telah berlalu bertahun-tahun yang lalu, perdebatan mengenai siapa “Raja Oktagon” yang sesungguhnya tidak pernah benar-benar surut. Bahkan, hingga tahun 2025 ini, penggemar MMA (Mixed Martial Arts) di seluruh dunia masih terus membandingkan warisan kedua legenda ini. Padahal, keduanya menempuh jalan yang sangat berbeda setelah puncak karir mereka. Oleh karena itu, artikel ini akan membedah statistik, dampak, dan warisan mereka untuk menentukan siapa yang paling pantas memegang gelar tersebut secara objektif.
Pertama-tama, kita harus mendefinisikan kriteria seorang “Raja”. Apakah gelar ini milik seseorang yang tak terkalahkan, atau milik seseorang yang mengubah wajah olahraga itu sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini akan memandu kita dalam menilai posisi Khabib dan Conor dalam sejarah UFC.
Khabib Nurmagomedov: Dominasi Absolut Tanpa Celah
Mari kita mulai dengan meninjau rekor profesional “The Eagle”. Angka 29-0 berdiri tegak sebagai monumen dominasi yang nyaris tidak masuk akal dalam olahraga yang sangat fluktuatif ini. Selanjutnya, Khabib jarang sekali kehilangan satu ronde pun selama karirnya di UFC. Fakta ini menunjukkan tingkat disiplin dan eksekusi teknis yang berada di level berbeda.
Selain itu, gaya bertarung Khabib yang berbasis Sambo dan gulat Dagestan telah mengubah “meta” MMA secara global. Lawan-lawannya mengetahui persis apa yang akan dia lakukan, yaitu menyeret mereka ke jaring, menjatuhkan, dan menghancurkan mereka di lantai. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari mereka yang mampu menghentikannya. Justin Gaethje, Dustin Poirier, hingga Conor McGregor sendiri merasakan tekanan fisik yang mencekik tersebut.
Akibatnya, banyak pengamat menganggap Khabib sebagai petarung paling dominan secara teknis dalam sejarah divisi ringan (Lightweight). Dia tidak pernah berdarah-darah dalam pertarungan, dia tidak pernah tampak lelah, dan dia selalu memaksakan kehendaknya pada lawan. Oleh sebab itu, jika kita bicara soal efektivitas bertarung murni di dalam kandang, Khabib memimpin perdebatan ini dengan jarak yang cukup jauh.
Conor McGregor: Revolusioner dan Ikon Global
Di sisi lain, kita sama sekali tidak bisa mengabaikan dampak seismik yang Conor McGregor bawa ke dunia olahraga tarung. Sebelum kedatangannya, MMA masih merupakan olahraga yang sedang berkembang menuju mainstream. Namun, Conor mengubahnya menjadi tontonan global yang mampu bersaing dengan tinju profesional. Karismanya di depan mikrofon dan kemampuannya memprediksi hasil pertarungan (“Mystic Mac”) menarik jutaan mata baru ke layar kaca.
Lebih lanjut lagi, prestasi atletiknya di masa prima juga sangat luar biasa. Dia menjadi petarung pertama dalam sejarah yang memegang dua sabuk juara UFC dari divisi berbeda (Featherweight dan Lightweight) secara bersamaan. Oleh karena itu, julukan “Champ-Champ” menjadi standar emas baru bagi petarung elit masa kini.
Tambahan lagi, kemampuan striking dan kekuatan tangan kirinya di masa jayanya benar-benar mematikan. Kita tentu mengingat momen ketika dia menidurkan legenda Jose Aldo hanya dalam 13 detik. Kemenangan itu mengguncang dunia. Jadi, Conor adalah raja tak terbantahkan dalam aspek hiburan, bisnis, dan kemampuan menarik penonton (Draw Power). Tanpa Conor, gaji para petarung UFC mungkin tidak akan setinggi sekarang.
Pertemuan Langsung: Fakta yang Tak Terbantahkan
Selanjutnya, kita harus membahas “gajah di pelupuk mata”, yaitu pertemuan langsung mereka pada Oktober 2018. Pada malam itu, segala keraguan teknis dan psywar akhirnya terjawab dengan tegas di atas kanvas.
Khabib berhasil menjatuhkan Conor dengan pukulan overhand kanan yang mengejutkan di ronde kedua, sebuah momen yang meruntuhkan argumen bahwa Khabib hanyalah seorang pegulat. Kemudian, Khabib mendominasi posisi ground dan menyiksa Conor secara fisik maupun mental. Akhirnya, Khabib memaksa Conor menyerah (tap out) lewat kuncian leher (neck crank) di ronde keempat.
Oleh karena itu, jika ukurannya adalah “siapa yang menang dalam perkelahian satu lawan satu”, Khabib memegang jawaban mutlak. Kemenangan ini menutup mulut banyak pengkritik yang sebelumnya meragukan kemampuan Khabib menghadapi striker elit. Conor mungkin memenangkan konferensi pers, tetapi Khabib memenangkan pertarungan.
Warisan Jangka Panjang
Namun demikian, warisan seorang raja tidak hanya berhenti saat mereka melepaskan sarung tangan. Setelah pensiun, Khabib beralih fungsi menjadi pelatih dan mentor. Hasilnya, dia berhasil mencetak juara-juara baru, termasuk Islam Makhachev, yang meneruskan dominasi gaya Dagestan di puncak divisi. Hal ini membuktikan bahwa sistem beladirinya sangat efektif dan berkelanjutan lintas generasi.
Sebaliknya, Conor McGregor lebih memfokuskan energinya pada dunia bisnis, film, dan gaya hidup mewah. Meskipun dia sesekali menggoda penggemar untuk kembali bertarung, fokus utamanya jelas telah bergeser. Akibatnya, reputasi bertarung Conor sedikit tercoreng oleh kekalahan-kekalahan di masa akhir karirnya. Sementara itu, Khabib pensiun di puncak, meninggalkan misteri “apa yang terjadi jika dia terus bertarung”.
Kesimpulan: Siapa Rajanya?
Sebagai kesimpulan, menentukan “Raja Oktagon” sangat bergantung pada lensa yang Anda gunakan.
Jika Anda mendefinisikan raja sebagai sosok yang tak terkalahkan, disiplin, dan mendominasi lawan secara fisik tanpa ampun, maka Khabib Nurmagomedov adalah pemenangnya. Rekor tanpa celanya menjadi argumen yang sulit terpatahkan oleh siapapun.
Akan tetapi, jika Anda mendefinisikan raja sebagai sosok yang mengangkat derajat olahraga ke level dunia, menciptakan kekayaan masif, dan memiliki dampak budaya terbesar, maka Conor McGregor lah orangnya.
Meskipun begitu, karena MMA adalah olahraga pertarungan yang berbasis pada hasil kompetisi, hasil di dalam arena memegang bobot terbesar. Oleh sebab itu, dengan rekor sempurna dan kemenangan head-to-head yang telak, Khabib Nurmagomedov layak menyandang gelar Raja Oktagon dalam konteks kompetisi murni. Dia datang, dia menaklukkan, dan dia pergi tanpa goresan.